Kisah
Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya
angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap,
tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan
anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari
anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui
penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk
memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur
itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu.
Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya.
Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi
semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk
termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang
menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil
Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia
menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di
benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang
kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke
Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya:
“Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal
hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan
urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang
suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil,
lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus
asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas
tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu
dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil
berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu
sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami
sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah
meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata
Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah
beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya
sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur
jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya,
dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di
atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh
arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah
kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali
yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia
baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja
berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
i. Kyai Kholil dipenjara oleh Penjajah
Masa hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan perlawanan;
pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Kholil
mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan,
tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini
dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari
tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri
Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara
terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini
tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan
batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak keberatan
pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan harapan
para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil, malah membuat
pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka
mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka
harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi
makanan kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya.
Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai
Kholil untuk di bebaskan saja.
Kyai kholil
berguru ke kyai pasuruan
Ketika Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada seorang
kiai yang sangat sakti mandraguna. Namanya Abu Darin. Kholil muda ingin sekali
belajar kepada Abu Darin. Semangat untuk menimba ilmu itu begitu menggebu-gebu
pada dirinya sehingga jarak tempuh yang begitu jauh dari Bangkalan di Pulau
Madura ke Pasuruan di Pulau Jawa tidak dianggapnya sebagai rintangan berarti,
meski harus berjalan kaki.
Namun apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan, tempat
kiai Abu Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah wafat. Dia
meninggal hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda. Habislah harapannya
untuk mewujudkan cita-citanya berguru kepada kiai yang mempunyai ilmu tinggi
tersebut.
Dengan langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari berikutnya
Kholil berta’ziyah ke makam Kiai Abu Darin. Di depan pusara Kiai Darin,
Kholil membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang ke-41, ketika
Kholil tengah ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir dalam mimpinya.
Dalam kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk
belajar sungguh terpuji. Telah aku ajarkan kepadamu beberapa ilmu, maka
peliharalah.” Kholil lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal kandungan
kitab Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pesantren itu.
Subhanallah.
Melindungi
calon santrinya dari musibah
Pada kisah yang lain, Kiai Kholil berusaha melindungi calon santrinya dari
musibah, padahal dia berada di Bangkalan, sementara si calon santri di tengah
Alas Roban, Batang, Pekalongan.
Menurut cerita si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia berangkat
dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Madura,
untuk berguru kepada Kiai Kholil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali
beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, serta thithikan,
alat pemantik api yang terbuat dari batu.
Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi
sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.
Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya.
Pohon-pohon yang ada di hutan itu besar-besar, semak belukar sangat tinggi,
banyak binatang buas di dalamnya. Namun yang lebih menyeramkan, banyak
perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan
tidak segan-segan membantai mangsanya kalau melawan.
Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tempat
untuk tidur, tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena tampangnya
biasa-biasa saja, mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang itu kemudian
bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.
Namun setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu terlalu
halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar
sedikit,” kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut ke mulutnya lalu menggigitnya
sehingga pecah menjadi dua.
Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut
laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,”
hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara mereka, menjawab, “Kalau
barang-barang kami diambil, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke
Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa
kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,”
jawab Amin.
Tersentak laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa. Wajahnya
pucat pasi, bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai
Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka gembira karena
merasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan
semua barangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kalian tidur saja di sini, dan
aku akan menjaga kalian semalaman.”
Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaringkan
badan tapi mata tidak bisa diajak tidur semalaman. Maut seakan sudah dekat
saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka
pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri.
“Akan kuantar kalian ke luar dari hutan ini agar tidak diganggu oleh perampok
lain,” jawabnya tampak ramah.
Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum
pertanyaan itu terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan aku rampok,
dan menjual kalian kepada onderneming untuk dijadikan kuli kontrak di luar
Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani
mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalahkan
Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”
Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan.
Terlebih lagi baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren Kiai Kholil
mereka telah memperoleh karamah dari pemimpin pesantren tersebut.
Kedatangan
macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya.
Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok
pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan
masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru
yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu
sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan
angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang
ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke
pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil
menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam.
Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah
berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan….macan.., ayo kita
kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan
di medan perang. Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri
berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul
untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat.
Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin
nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk
datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong
dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.
Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren
secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai
rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau. Secara
tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya.
Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil.
Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah
resmi diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab
Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal
dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan
berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab
Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun
lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.
Santri yang
tidak ikut jamaah
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama
Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa
sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan
karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur
dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu
adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil
marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar..,
santri kurang ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat
berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri
kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di
belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan
wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut
berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik. Semua santri merasa terkejut,
tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke
kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu
itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan
dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil
menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak
hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di
belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis
pisau kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus.
Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang
sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta
waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis,
Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima
hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri
Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah
tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang
ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya
berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil
sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar
pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri
ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah
pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar,
seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido
Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
Kedatangan
habib
Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami
jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil
mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura
menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya,
termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui
kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai,
bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi
beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat
magrib. Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana
ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya
macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih
untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan
Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak
pergi juga. Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang
menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai
Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang
macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang
fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa
sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu
ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana
penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Berselisih
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang
ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’,
maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’
(tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk
sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Kholil bangkalan.
Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang
duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola
sontak saja kiyahi Kholil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki
yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Kholil bangkalan menyambut kedatangan Habib
Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu
bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki
yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan
pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.
Didatangi
tamu
Di Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia. Pada
suatu hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin sekali sowan
(berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi. “Itu bagus sekali Pak,
tetapi apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh kepada Kyai Kholil, kita tidak
mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,” jawab isterinya. “Tidak apa-apa,
bentul itu saja yang kita bawa. Asalkan kita ikhlas, Insya Allah akan
diterima,” tegas sang suami meyakinkan isterinya.
Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan berbekal
tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai Kholil dengan baik.
Bentul adalah makanan sangat sederhana sejenis talas. Sesampainya di kediaman
Kyai Kholil kedatangannya sudah ditunggu. Mereka disambut dengan hangat. “Kyai,
saya tidak membawa apa-apa, hanya sebuah bentul ini yang bisa kami haturkan
untuk Kyai.” ucap sang suami rada malu-malu.
“Wah kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil
menghibur. Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan menyuruhnya untuk
merebus bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama setelah itu, santri datang
membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai Kholil kelihatan sangat senang dan
suka terhadap bentul itu, lalu dimakannya sampai habis.
Suami-isteri yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang
dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan. Beberapa hari kemudian,
suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai Kholil. Masih segar di ingatan
suami isteri itu akan kesukaan Kyai Kholil. Kali ini, tidak seperti terdahulu.
Mereka membawa oleh-oleh bentul sebanyak-banyaknya dengan harapan Kyai Kholil
sangat senang menerimanya. Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke ulama
karismatik itu. Tidak seperti dahulu, dugaan mereka meleset. Mereka disambut
dingin. Begitu juga dengan oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak
menerima oleh-olehnya dan disuruh bawa pulang kembali.
Pada saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan selama
ini. Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan semata-mata karena
keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan yang kedua tidak dilanda
ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini atas kekuatannya sendiri dan merasa
dirinya mampu membawa oleh-oleh kepada kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai
Kholil.
Hanya
disuruh perbanyak baca istighfar
Suatu hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara
bersamaan. Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada keperluan
apa?” “Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah rugi
terus-menerus,” ucap tamu pertama. Beberapa saat Kyai Kholil menjawab, “Jika
kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai
mantap. Kemudian kyai bertanya kepada tamu kedua:“Sampeyan ada keperluan apa?”
“Saya sudah berkeluarga selama 18 tahun, tapi sampai saat ini masih belum
diberi keturunan,” kata tamu kedua. Setelah memandang kepada tamunya itu, Kyai
Kholil menjawab, “Jika kamu ingin punya keturunan, perbanyak baca istighfar,”
tandas kyai.
Kini, tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, “Sampeyan ada
keperluan apa?” “Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang saya makin
banyak, sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu yang ketiga, dengan raut
muka serius. “Jika kamu ingin berhasil dan mampu melunasi hutangmu, perbanyak
baca istighfar,” pesan kyai kepada tamu yang terakhir.
Berapa murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Masalah
yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama, yaitu menyuruh
memperbanyak membaca istighfar.
Kyai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang, maka
dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai Kholil
membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12.
Mendengar jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu memang
merupakan janji Allah bagi siapa yang memperbanyak baca istighfar. Memang
benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamunya semuanya berhasil apa yang
dihajatkan.
0 Response to "Mbah Kholil Bangkalan Madura 3"
Post a Comment